Pembakaran pelaku begal di
Tangerang menjadi tren pemberitaan berbagai media. Saling menyalahkan dan
lempar pertanggungjawaban tergambar jelas dalam kacamata publik. Disisi lain,
masyarakat yang tidak sependapat dengan cara warga membakar pelaku begal akan
merasa iba dan berbicara “jangan main hakim sendiri”. Namun tidak bagi mereka
sekumpulan masyarakat yang sudah bringas tanpa kendali melihat maraknya begal
yang meresahkan pengguna jalan dan warga yang melintas dimalam hari.
Tetapi mengapa masyarakat yang
memiliki dan dianugrahi pikiran, akal, dan rasa toleransi dan belas kasian
sampai tega membakar sesamanya ? Mengapa tidak diserahkan kepihak yang berwajib
? Atau mengapa tidak penegak hukum saja yang mengurus kasus begal hingga tuntas
? Dan mengapa-mengapa lainnya masih bersarang di kepala saya. Bukankah sebuah
Negara mempunyai aturan dan hukum yang harus ditaati dan ditegakkan ? Bukankah
semua jenis tindak pidana ada hukuman yang telah disepakati ?.
Dulu saya berpikir bahwa segala
bentuk dan macam jenis kejahatan apa pun itu akan memperoleh sanksi yang sesuai
dengan prilakunya dan saya berpikir bahwa hukum di Indonesia jelas-jelas hukum
yang kuat, kokoh tak tertandingi seperti iklan semen. Itu dulu looooo, hanya
pola pikir saya yang sempit ternyata.
Apanya hukum yang tegak dan kokoh,
wong hukumnya lembek bisa ditekuk sana sini kasih duit dan jabatan kelar semua
perkara. Kok bisa ? saya berpikir kembali tentang dua kasus kecelakaan yang
menyeret anak mantan menteri ekonomi dan anak musisi Dewa 19 yang menewaskan
korbannya. Alih-alih dipenjara, diberi sanksi aja tidak. Dengan dalih jalan
damai antar kedua belah pihak, atau pelaku yang dibawah umur dan masih status
belajar menjadi celah untuk kebal hukum. Memang kekeluargaan bisa dijalin dan
harus tanggung jawab mas Dhany yang kuerennn beken dan pak mantan menteri. Tapi
coba deh liat sebentar. Apa saat kejadian anak sampean bawa surat berkendara
dengan lengkap dan mematuhi rambu lalu lintas yang ada?. Terus kemana penegak
hukum dan hakim yang adil dan bijaksana ? Dan masih banyak lagi kasus yang
belum tuntas dan sekarang ditambah lagi dengan intrik-intrik yang ndak jelas di
ranah hukum Indonesia. Masyarakat itu ndak bodoh dan ndak buta serta tuli kan?
Salah satu teman saya berkata bahwa hukum itu bisa dibeli. Sapa sih yang gak
mau sama duit ? Saya aja juga mau.
Inilah alasan sederhana yang
membuat masyarakat mulai pudar dan tak percaya lagi dengan pihak yang berwajib.
Main hakim sendiri dan melakukan hukuman pada pelaku tindak kriminal menjadi solusi
terbaik. Bagaimana tidak? Bila pelaku di serahkan ke pihak berwajib belum tentu
ia keluar dari penjara tobat kan? Apa ada yang bisa menjamin kalau pelaku
tobat. Menjadi beringas dan mungkin saja lebih ganas, itulah faktanya. Karena
penjara itu tempat belajar yang lengkap dan universal. Orang kasus korupsi yang
bertahun tahun sudah jelas pelakunya saja masih belum di tangkap dan dijatuhi
hukuman. Mencari data inilah, itulah. Heem namanya juga duit berbicara. Coba
lah tiru hukum Negara tetangga, pelaku korupsi cuma dipenjara DUA MINGGU saja tetapi habis itu di
eksekusi mati didepan publik. Simple kan, buat apa lama-lama proses hukum kalau
ujungnya cuam penjara 5-7 tahun sedangkan milyaran bahkan triliun uang rakyat tilep
sana sini, ujung-ujungnya masuk kantong kayak prilaku tilangan.
So, jangan salahkan masyarakat
kalau bertindak secara pola pikir mereka. Mereka gak bodah dan mereka ingin
menunjukan bahwa masyarakat sudah bosan menunggu yang namanya hukum. Ini
jadinya kalau masyarakat sudah ngambek dan bergerak. Masih untung begal motor
yang dibakar. Coba bayangin kalau seluruh koruptor dibakar hidup-hidup, terus
kasus kecelakaan yang menewaskan korbanya juga dibakar hidup-hidup. Saya yakin
penjual bensin eceran akan bahagia mendengar kabar ini.
Apakah saya membela perilaku masyarakat
yang main hakim sendiri? Ya jelas ia dan setuju. Tetapi dilihat dari bentuk dan
jenis kejahatannya.
Seperti contoh ini . Apa yang
dilakukan teman-teman Bali Latar dan Akademi Komunitas Putra Sang Fajar
membersihkan vandal dan corat coret di tembok stadion kota Blitar adalah salah
satu contoh kepedulian akan pelaku vandalis. Mereka memberi contoh bahwa
perilaku vandal itu tak baik. Namun jangan salah, kalau ada pelaku vandal yang
ketangkap tangan oleh komunitas penggiat di Blitar Raya dan dilakukan sanksi
sesuai pola pikir mereka, saya rasa itu fair dan sah-sah saja. Karena tidak
adanya kejelasan hukum buat pelaku corat coret tembok di wilayah Blitar Raya.
Tegaknya hukum dan memberantas
kriminalitas serta membuat suasana kondusif adalah pekerjaan rumah yang sampai
saat ini belum terselesaikan dengan benar di Indonesia. Terbuai akan uang,
jabatan, dan kesibukan pemerintah serta penegak hukum dalam upaya memperkaya
diri sendiri dan mengamankan harta benda serta menambah pundi-pundi pemasukan
adalah persoalan terbesar dan terganas.
Memang benar adanya jika Bung Karno
pernah berkata bahwa, lebih mudah dan
gampang melawan penjajah dari pada melawan bangsa sendiri yang saat ini telah
bobrok moral, etika, dan hilangnya rasa kepercayaan.
“tetaplah tersenyum Bung meski yang kau
titipkan pada negri ini mulai pudar”
Selayang pandang Bali Latar #2 Jagongan
February 27, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar