KIRANYA TAK SEKEDAR DRAMA
14 februari seperti hari wajib bagi sebagian masyarakat Blitar Raya namun
tak selamanya merasa akan kewajiban hari itu. Dengan semangat dan celana
dicincingkan para pemuda Blitar Raya bermain drama. DRAMA KOLOSAL PEMBERONTAKAN
PETA orang sering menyebut. Judul yang menggugah rasa nasionalis yang tentunya
tak seperti judul 7 Manusia Harimau atau Tukang Bubur Naik Haji yang tak
kunjung di Mekah hahahahahahahah.
Acara pesta kesemangatan rasa nasionalis dan rasa memberontak karena
benar dan mencintai tanah bumi pertiwi selalu bergelora tinggi rendah seperti
pompa tukang becak yang lunglai seharian tanpa penumpang dan beras dirumah
kosong mlompong. Teriakan merdeka dan jeritan tangis serasa membuat kilas balik
akan masa-masa dimana Sudanco Supriyadi dan rekan-rekannya berjuang mengibarkan
sang Merah Putih di Blitar Raya yang dulu tak dipisahkan Kota dan Kabupaten
semacam monopoli politik. Seakan seperti secangkir kopi, tapi gula nya merasa
paling hebat dari kopinya. Weh dasar otak penjual kopi kok ditiru di zaman yang
serba susah.
JASMERAH, mungkin ini ungkapan sederhana yang keluar ketika ditanya. Itu alasan
basi kawan. Ucapannya tak jauh beda dengan wacana dan janji politik DPR yang
korup. Entah sadar atau tidak, setiap tahun DRAMA KOLOSAL PEMBERONTAKAN PETA
ini dilakukan. Terkadang pola pikir ini bertanya-tanya “sekedar acara tahunan
atau memang menghargai dan mewarisi semangat pejuang ?”.
Pernyataan ini menjurus akan tingkah laku masyarakatnya. Jangankan menghargai
pejuang, buang sampah pada tempatnya saja sulit dilakukan (tepok jidat J ). Yang bikin greget
lagi saat drama KOLOSAL lagi berlangsung eh bukannya seksama melihat dan
memperhatikan paling tidak ya diam lah kalau tak suka. Asik lirik sana lirik
sini. Liat mana yang bisa di goda dan itung-itung cuci mata lah, kamu anggap
malam drama KOLOSAL PETA semacam dapur yang bisa mencuci mata picik itu? Semenit
acara selesai tak jarang dari mereka bersorak ria, lompat sana-sini, dan lupa
makna akan PEMBERONTAKAN PETA. Bukan sejenak merenung dan ucap syukur tapi
sikat gebetan, peluk, cium kiri kanan atas bawah. Woyyy kamu kira ini taman
bercinta masal.
Terkadang miris melihat ini semua setiap tahun, dimana sebagian dengan
semangat membara mencoba dan selalu menyalakan lilin kecil guna menyingkap
gelap namun sebagian pesta pora sendiri. Tetapi setidaknya ada satu hal yang
dapat kita rasakan dan patut dipertahankan meski ini menghitung hari kapan
semangat para relawan tanpa embel-embel duit ini mau berkarya. Bukan karena
kita tak sanggup membayar para penggiat seni dan para pelaku serta masyarakat
yang sadar akan jasa pahlawannya. NAMUN MEREKA TAK TERNILAI SAMPAI KAPAN PUN,
MASIH ADA SATU DARI SEPULUH PEMUDA YANG SELALU MENYALAKAN LILIN SAAT GELAP DAN
TAK PERNAH MENGHUJAT KEGELAPAN.
Selayang pandang untuk
Blitar Raya
13 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar