Sejarah adalah akta kelahiran, negara asal adalah ibunya begitu juga dengan banyak sekali sejarah Blitar yang masih terkubur, sebagai generasi pelurus bukanlah generasi penerus kesalahan, kita harus menggali untuk menjadi acuan pembangunan di masa yang akan datang dan salah satu sejarah budaya yang harus kita ketahui serta kita gali yaitu rampogan macan.
Secara
etimologis Rampogan Macan terdiri dari dua kata yaitu Rampogan yang artinya
“rayahan” atau “rebutan” dan Macan atau Harimau, bila diartikan secara
keseluruhan maka Rampogan Macan adalah sebuah kegiatan “rebutan” Macan untuk
dibunuh secara beramai-ramai dengan menggunakan tombak. .
.
Secara
filosofis Rampogan Macan memiliki makna yang beragam. Di Karaton Surakarta
Hadiningrat, kegiatan Rampogan Macan diselenggarakan untuk menyambut tamu-tamu
kehormatan maupun para pejabat dari Belanda, sehingga secara tersirat kegiatan
ini ditujukan untuk memperlihatkan bahwa kekuatan rakyat dapat mengalahkan
kekuasaan para penjajah yang dilambangkan dalam bentuk Macan. Di kalangan para
prajurit dan masyarakat kegiatan Rampogan Macan justru dijadikan ajang unjuk
kekuatan dan keberanian dalam menghadapi Macan yang buas dan berbahaya
(gladiator jawa). .
Berbeda
dengan di Karaton Surakarta Hadiningrat, perhelatan Rampogan Macan yang
diselenggarakan di Blitar diadakan sebagai sebuah kegiatan budaya untuk
menghibur dan meramaikan Hari Raya Idul Fitri (pada tahun 1901). Karena
melibatkan banyak orang, maka acara ini tidak cuma sekedar sebagai sebuah acara
hiburan semata, tetapi kegiatan ini juga menjadi ajang silaturahmi .
Perhelatan Rampogan Macan merupakan sebuah
kegiatan yang mulai diadakan pada tahun 1890 di Karaton Surakarta Hadiningrat
dan dilarang pada tahun 1905 pada masa pemerintahan Inggris oleh Raffles yang
pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Jendral.
Dengan dilarangnya kegiatan rampogan macan pada saat itu, secara langsung budaya rampogan macan berhenti hingga saat. Kesulitan akan bukti visual kegiatan rampogan macan membuat beberapa sejarawan dan budayawan kesulitan rekontruksi ulang budaya ini, tetapi masih ada bebrapa pengembang media kreatif yang membuat rampogan macan dalam bentuk cerita komik dan tari kontemporer sehingga jejak-jejak sejarahnya masih bisa di pelajari oleh generasi saat ini.