Selasa, 09 Juni 2015

Pesan Sederhana dari Gong Perdamaian


Aku akan bercerita tentang sebuah keindahan. Keindahan dan keagungan suatu benda di area perpustakaan Bung Karno, Blitar. Sebetulnya bukan benda baru, ya betul saja. Namun ada yang unik dan dipercantik sedemikian rupa. Dia adalah “Gong Perdamaian” begitu tulisan yang tertera di atasnya. Lalu apa istimewanya dibanding dulu?


Kant mengatakan, keindahan yang ada dalam seni itu terdapat pada bentuknya. Yaitu keindahan “bentuk” yang dapat ditangkap dan dirasakan melalui indera manusia.

Gong Perdamaian adalah keindahan dalam karya seni seutuhnya. Suatu bentuk cipta manusia yang dihasilkan dari penggalian konsep hingga pembuatan yang memerlukan perhitungan guna memperoleh bentuk yang dinamis disetiap sisinya. Bentuk gong yang bundar terbuat dari sepuhan besi dicampur almunium mampu memanjakan mata dan membuat hasrat untuk meraba permukaan gong. Ornament yang ada dipermukaan gong menambah kesan tegas namun agung.

Ornament yang ada di permukaan tubuh “Gong Perdamaian” bukan sekedar ornament saja. Namun bendera negara seluruh bangsa yang ada di bumi dan diakui secara hukum sebuah negara terpampang disini. Suatu bentuk identitas guna menggambarkan perdamaian antar bangsa dan bernegara perlu diciptakan. Saling mendukung dan menguatkan dalam segi kemajuan ekonomi serta kesetaraan manusia menjadi cerminan penting. Bendera itu disusun melingkar sesuai bentuk gong sebagai simbol satu kesatuan yang tak pernah habis. Dan berputar seperti rotasi bumi untuk menciptakan keseimbangan alam dan ekosistem yang ada di dalamnya.

Ornament yang kedua adalah simbol dari keyakinan yang dianut dan diakui didunia. Disusun secara melingkar dengan ukuran dan komposisi yang sama, warna yang sama. Menandakan bahwa tak ada keyakinan yang beranggapan paling benar serta baik. Semuanya sama dan tak ada yang buruk. Tuhan hanya satu namun di sembah dengan banyak cara dan disebut dengan banyak nama sesuai keyakinan masing-masing tanpa merendahakan keyakinan yang lain. Keyakinan adalah hal yang paling sering menjadi pemicu pertengkaran, perebutan kekuasaan, bahkan hingga saling membunuh. Menganggap paling baik dan yang tak sesuai dengan ajarannya adalah musuh. Bahkan beralasan membela Tuhan atas nama agama atau keyakinan adalah hal yang tak patut dan tak terpuji. Bagaimana bisa manusia membela Tuhan yang begitu Agung dan Maha segalanya. Dan bagaimana bisa menganggap yang lain buruk? Alangkah indah dan bijak ketika semua keyakinan saling berjabat tangan dan menopang satu sama lain.

Dibagian inti gong (tempat dipukul) tergambar globel sebagai bentuk dunia yang bulat, dan indah ketika tak ada peperangan dan perdamaian tercipta di seluruh negara yang ada di dunia. Gong Perdamaian di ikat  diantara empat tiang penyangga dan gong berada tepat ditengahnya. Mengingatkan pada ucapan orang Jawa. Sedulur papat, lima pancer (empat saudara dan lima adalah kita sendiri sebagai pelengkap). Atau bisa dimaknai sederhana dengan empat sehat, lima sempurna. Sebagai bentuk kesempurnaan bahwa Gong Perdamaian menjadi simbol kesempurnaan hidup bernegara dan berbangsa. Rakyat yang damai menjadi cermin keadilan dan kesejahteraan dalam suatu bangsa. Tentu hal ini yang ingin dicapai seluruh negara.

Sebelah kanan dan kiri “Gong Perdamaian” ada gunungan besar yang menancap kokoh. Bahannya yang terbuat dari lempengan besi dibalut dengan almunium membuat mata cukup silau melihatnya. Gunungan atau Kekayon dalam bahasa wewayangan memiliki arti awal kehidupan. Bisa juga awal dari segala permulaan yang ada. Ini menyimbolkan bahwa hidup damai, rukun, dan saling bertoleransi menjadi landasan utama yang tak bisa dielakan apalagi dipungkiri. Warna emas yang menyelimuti kedua gunungan adalah simbol kejayaan dan rasa keagungan yang tanpa batas. Hal ini tentu perdamaian adalah hal yang agung dan menunjukan bangsa yang jaya dan menghargai pendapat serta hak rakyatnya bahkan negara lainnya.

Indonesia sebagai salah satu negara yang mendukung perdamaian dunia membuat simbol ini sebagai bentuk nyata bahwa perdamaian wajib di nyatakan dan disuarakan guna melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara. Sedangkan pemilihan simbol alat gamelan (gong) dan ikon wewayang (Kekayon) memiliki arti “jadilah manusia dan negara yang Jawani (memahami,mengerti, dan melaksanakan) kepentingan bersama bukan arogan dalam segala hal”.

Begitulan cerita keindahan yang aku tangkap dari “Gong Perdamaian” yang berdiri kokoh diantara dua kekayon yang berdiri tegak menantang langit biru. Salam perdamaian dari bumi Bung Karno, Blitar, Jawa Timur.


selayang pandang

Bali Latar #2 JAGONGAN












Selasa, 07 April 2015

Tenggelamnya rampogan macan Blitar

Sejarah adalah akta kelahiran, negara asal adalah ibunya begitu juga dengan banyak sekali sejarah Blitar yang masih terkubur, sebagai generasi pelurus bukanlah generasi penerus kesalahan, kita harus menggali untuk menjadi acuan pembangunan di masa yang akan datang dan salah satu sejarah budaya yang harus kita ketahui serta kita gali yaitu rampogan macan.

Secara etimologis Rampogan Macan terdiri dari dua kata yaitu Rampogan yang artinya “rayahan” atau “rebutan” dan Macan atau Harimau, bila diartikan secara keseluruhan maka Rampogan Macan adalah sebuah kegiatan “rebutan” Macan untuk dibunuh secara beramai-ramai dengan menggunakan tombak.              .                                                  .

Secara filosofis Rampogan Macan memiliki makna yang beragam. Di Karaton Surakarta Hadiningrat, kegiatan Rampogan Macan diselenggarakan untuk menyambut tamu-tamu kehormatan maupun para pejabat dari Belanda, sehingga secara tersirat kegiatan ini ditujukan untuk memperlihatkan bahwa kekuatan rakyat dapat mengalahkan kekuasaan para penjajah yang dilambangkan dalam bentuk Macan. Di kalangan para prajurit dan masyarakat kegiatan Rampogan Macan justru dijadikan ajang unjuk kekuatan dan keberanian dalam menghadapi Macan yang buas dan berbahaya (gladiator jawa).                                            .

Berbeda dengan di Karaton Surakarta Hadiningrat, perhelatan Rampogan Macan yang diselenggarakan di Blitar diadakan sebagai sebuah kegiatan budaya untuk menghibur dan meramaikan Hari Raya Idul Fitri (pada tahun 1901). Karena melibatkan banyak orang, maka acara ini tidak cuma sekedar sebagai sebuah acara hiburan semata, tetapi kegiatan ini juga menjadi ajang silaturahmi .

Perhelatan Rampogan Macan merupakan sebuah kegiatan yang mulai diadakan pada tahun 1890 di Karaton Surakarta Hadiningrat dan dilarang pada tahun 1905 pada masa pemerintahan Inggris oleh Raffles yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Jendral. 

Dengan dilarangnya kegiatan rampogan macan pada saat itu, secara langsung budaya rampogan macan berhenti hingga saat. Kesulitan akan bukti visual kegiatan rampogan macan membuat beberapa sejarawan dan budayawan kesulitan rekontruksi ulang budaya ini, tetapi masih ada bebrapa pengembang media kreatif yang membuat rampogan macan dalam bentuk cerita komik dan tari kontemporer sehingga jejak-jejak sejarahnya masih bisa di pelajari oleh generasi saat ini.















Minggu, 29 Maret 2015

Menghayati dan Memaknai INDONESIA PUSAKA

Indonesia Pusaka
Ciptaan Ismail Marzuki
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa
Reff :
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

            Ismail Marzuki merupakan salah satu maestro musik kepahlawanan. Komponis kelahiran kampung Kwitang, Jakarta Pusat, pada tahun 1914 ini menciptakan sekitar 250 lagu. Karya-karyanya sampai hari ini masih sering terdengar, antara lain Juwita Malam, Sepasang Mata Bola, Selendang Sutera, Sabda Alam, dan Indonesia Pusaka.

            Indonesia Pusaka begitulah judul dari lagu diatas. Merupakan sebuah lagu nasional yang dihafal hampir seluruh rakyat Indonesia. Baik dibangku sekolah dasar hingga perguruan tingga bahkan masyarakat umum tanpa terikat status pendidikan. Tetapi tidak semuanya menghayati makna lagu tersebut. Lagu gubahan Ismail Marzuki sudah diajarkan kepada rakyat Indonesia sejak mereka masih duduk dibangku sekolah dasar, merupakan salah satu lagu yang wajib oleh setiap siswa. Namun, tidak pernah ada yang benar-benar mengajarkan nilai-nilai apa yang dikandung oleh lagu tersebut. Kalimat-kalimat indah diatas bukan hanya sekedar kalimat yang didendang-dendangkan bukan hanya sekedar kata yang dikumandangkan. Tetapi kalimat diatas adalah sebuah refleksi jiwa seorang rakyat tentang kecintaanya terhadap tanah air, yang seharusnya juga dimiliki oleh seluruh warga Indonesia.

            Makna dari lagu Indonesia Pusaka adalah pada bait pertama beliau memberi tahu bahwa indonesia merupakan senjata yang selalu hidup didunia, maksudnya Indonesia merupakan negara yang kuat dan akan terus jaya untuk selamanya. Kekuatan ini bukan hanya masalah militer tetapi juga dari banyak segi lainnya. Kebudayaan yang beranekaragam, suku adat, bahasa, dan masih banyak lagi. Makna pusaka abadinan jaya disini luas bukan mengacu pada satu hal namun melingkupi segala aspek yang ad di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

            Pada bait selanjutnya bermakna bahwa dari dulu sampai saat ini Indonesia merupakan negara yang selalu di puja dan diagungkan oleh masyarakatnya dan negara lain. Ini terbukti dari zaman kerajaan hingga penjajahan dan sekarang merdeka. Banyak bangsa lain yang kagum dengan kesuburan negara kita. Gemah ripah loh jinawi, itulah ungkapan yang tepat untuk Indonesia dan itulah yang membuat banyak negara lain ingin menguasai dan menduduki tanah pertiwi. Keelokan pantai, gugus gugus pulau, serta kekayaan alamnya yang berlimpah ruah adalah alasan semua itu. Namun sayang ketika bangsa lain yang lebih sedikit dan bahkan nyaris tak memiliki budaya, seni, sumber daya alam ingin memiliki seperti Indonesia bahkan tak jarang mereka membeli dan mendatangkan tim ahli, orang – orang yang kreatif dari negara kita tetapi semua berbanding terbalik. Masyarakat kita belum sadar dengan semua itu, dan lebih memuja budaya asing ketimbang produk negara sendiri.

            Bait selanjutnya menceritakan bahwa diIndonesia lah kita lahir dan berkembang, dan merasakan kasih sayang orang tua. Maksud bait ini bukan sekedar kita lahir dari rahim orang tua kita dan dibesarkan saja. Karena itu adalah kewajiban orang tua dimana saja. Namun makna yang dimaksudkan oleh Ismail Marzuki merujuk pada sawah yang memberi kita makanan, sumber – sumber air yang membuat kita tidak takut kehausan, laut yang melimpahkan segala ikan dan sejenisnya sebagai lauk. Semua itu diberikan oleh tanah Indonesia, tempat kita berpijak. Seakan tanah ini adalah ibu kita karena darinya kita tak merasakan kekurangan apapun. Tugas kita hanya merawat, memelihara, dan menjaganya agar tetap ada dan bisa dinikmati anak cucu kita tanpa harus melakukan import dari negara tetangga.

            Sedangkan pada bait terakhir, tempat berlindung dihari tua, tempat akhir menutup mata. Jika kita mendengar bait ini sambil lalu tanpa berfikir kritis maka kita hanya memahami bahwa kita lahir di Indonesia ya mati di Indonesia juga kelak. Bukan itu maksudnya kawan, tetapi Indonesia itu memiliki daya tarik sendiri dan memikat hati siapapun. Banyak contoh yang kita lihat dan dengar, berapa orang Indonesia yang sukses diluar negeri tetapi mereka akhirnya kembali ketanah Indonesia. Bukan karena disana mereka diusir atau apapun itu namun mereka rindu dan kangen akan suasana dan ketentraman yang selalu ditawarkan Indonesia. Tak pelak, warga asing pun banyak yang rela menjadi WNI dan menetap di Indonesia tercinta. Disini mereka merasa dilindungi, dihargai, ada rasa kepercayaan, kekeluargaan, semangat gotong royong yang tentunya diluar sana belum tentu ada. Buat apa memiliki harta berlimpah ruah namun tak ada tetangga yang memperdulikan kita, dan mendengar aspirasi kita.

Itulah makna yang seharusnya kita mengerti dan sadari. Dalam hal ini, bukanlah sekedar mengenai arti kata disetiap lagu tetapi lebih kepada ajaran yang tersirat dalam lirik baitnya. Ismail Marzuki membuat lagu ini bukan sekedar berdendang dengan kalimat, namun ia meresapi dan mengambil dari masyarakat kita sendiri. Mencurahkan rasa yang ia alami. Bagaimana dia mencintai tanah airnya dan menghargai, serta membela Indonesia ini.

Akhir-akhir ini kita banyak mengalami peristiwa  “kecolongan” dari negeri tetangga entah itu wilayah, budaya, masakan dan lain sebagainya yang sekarang sudah lepas kenegara lain. Hal ini membuktikan bahwa pada saat ini masyarakat Indonesia belum paham atau belum sepenuhnya sadar tentang kewajiban membela tanah air. Bela tanah air bukan hanya terlibat dalam perang atau ikut berperang demi menjaga keamanan negara ini. Itu merupakan salah satu contohnya. Tetapi bela tanah air itu adalah membela, menjaga setiap jengkal tanah Indonesia serta segala sesuatu yang dimilikinya, manusianya, budayanya, langitnya segala yang ada ditanah, dilautan dan dilangit Indonesia. Segalanya adalah milik Indonesia dan tidak ada satu orangpun yang berhak mengklaim bahwa itu milik mereka. Seharusnya jiwa seperti inilah yang harus ditanamkan kedalam diri masyarakat Indonesia. Jiwa merasa memiliki dan menjaga bersama-sama agar tidak diambil negara lain.

Seperti lagu diatas, Indonesia adalah tempat dimana kita dilahirkan dan dibesarkan serta tumbuh hingga menjadi tua. Negara ini adalah hasil dari perjuangan dan kerja keras para pendiri-pendiri bangsa. Bukan dari pemberian atau pun suka rela. Pejuang bertaruhkan nyawa, harta, keluarga, dan apapun untuk satu kata Merdeka. Sudah seharusnyalah kita sebagai penerus memperjuangkan bangsa ini dan membelanya. Memang saat ini kita bukan dimasa perang dan penjajahan seperti dulu. Akan tetapi kita masih diajajah oleh keserakahan, kemiskinan, kebodohan, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan sebagainya.

Tanah yang seharusnya melindungi kita, bumi pertiwi yang seharusnya membuai masyarakat Indonesia seakan murka dengan prilaku kita. Masyarakat dengan enaknya mengambil hasil bumi namun tak pernah mereka pikitkan bagaimana cara merawatnya agar tetap terjadi keberlangsungan.

Inilah perlunya rasa cinta tanah air seperti gambaran dari bait demi bait Ismail Marzuki. Perilaku cinta tanah air dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, diantaranya memelihara  persatuan dan kesatuan dan menyumbangkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki untuk membangun negara Indonesia dari segala segi kehidupan dan bermasyarakat.

Semangat cinta tanah air perlu terus dibina sehingga keutuhan negara Indonesia tetap terjamin. Semua itu bertujuan dan akan memberi manfaat rasa aman, damai, pembanguan infrastuktur yang baik, pendidikan yang standar, kesejahteraan masyarakat meningkat, terjadinya pola pikir kreatif, dan saatnya semua lapisan masyarakat merasakan itu. Dari tukang becak hingga pejabat, dari penjual teri hingga para menteri, dari petani hingga MPR RI, semua tanpa terkecuali berhak merasakan keindahan dan kenyaman serta kenikmatan yang diberikanoleh tanah pertiwi Indonesia.

Cita – cita untuk mencapai masyarakat adil makmur berdasarkan pancasila perlu terus diperjuangkan. Cinta tanah air bukan utuk dihafal, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan sehari – hari melalui segala kegiatan sesuai dengan bidang dan keahlian masing – masing.


Indonesia adalah tanah pusaka yang diwariskan oleh para leluhur kita. Dan disinilah pada akhirnya kita nanti akan menjadi tua. Kita harus selalu menjaganya agar kelak Indonesia masih bisa dikenang sebagai bangsa yang besar, bangsa yang memiliki ragam budaya, bangsa yang subur dan makmur masyarakatnya. Untuk itulah kita perlu membela negeri ini karena ini adalah Indonesia kita. Indonesia Pusaka.

Senin, 16 Maret 2015

AGRARIS = KORUPSI BENGIS

. . .sebuah gelisah hati, pikiran, dan rasa sederhana dari balik cendela bambu yang kusang. . .

Banyak orang bilang bahwa negara kita Agraris
Namun rakyat menjerit dan semakin dibuat Mringis
Banyak orang bilang lahan kita dipenuhi Padi
Namun nyatanya semua harga semakin Tinggi dan penuh obral Janji
Banyak orang bilang lumbung kita sesak akan Beras
Namun nyatanya petani semakin di Peras
Banyak orang bilang hukum negara kita Adil
Gombal belaka, kelakar sederhana
Maling teri dipukuli dan dijatuhi hukuman mati
Namun korupsi diberi remesi dan di puji-puji seperti kotoran BAB!
Orang susah bukan semakin susah namun MATI dengan nafas yang terengah-engah
Kau bilang semua demi perubahan ?
Kau bilang semua demi keadilan ?
Kucing yang baru melahirkan anaknya pun tahu betul ini tidak seperti isi otakmu.
Jangan bertanya kenapa RASKIN yang dibagi ke masyarakat ditukar beras layak makan,
Jangan bertanya kenapa orang miskin enggan berobat dengan embel-embel gratis,
Ku yakin kau pasti tahu jawabnya,. Jika tidak carilah tahu jawabnya

Bukan, bukan aku tak suka
Tapi kontrol sosialmu yang tak ada
Kau berpikir bagus tapi bawahanmu yang membrangus
Kau kucurkan dana dari uang rakyat
Tapi orang-orang di gedung itu masih saja mencacat
Kau suruh kami bayar pajak untuk kemakmuran dan kesejahteraan
Namun mereka rapat sambil kleleran macam TIKUS kurang kerjaan
Sampai kapan semua ini terjadi ?
Entahlah.
Aku hanya diam dan terus menatap dari balik cendela tak beruji ini



dari kamar kotak

Bali Latar #2 JAGONGAN

Kamis, 12 Maret 2015

di Sudut tawa

Apa yang kalian pikirkan dengan foto disamping ?
Ingin mengulang masa di mana hanya ada canda tawa bahagia dan tangis karena gak punya teman atau menangis karena ada teman yang jahil. Itulah yang aku rasakan saat melihat mereka bermain. Bukan masalah bermainnya namun jenis permainan yang mereka pilih dan mainkan. Aku bertanya-tanya “ kok masih ada ya permainan seperti ini ?”. Pertanyaan ini tentu beralasan karena di era yang serba modern dengan menjamurnya alat teknologi tak banyak membuat anak-anak mengerti apa itu bersosial dengan lingkungan. Bukan salahnya HP atau Gadge yang muncul namun mengapa mereka tak pernah di didik atau dikenalkan “itu lo teman” , “ itu lo yang namanya mainan tradisi”. Nyatanya tidak kan, anak nangis diberi Gadge untuk bermain. Jika dulu saat petang menjelang serombongan anak-anak berkumpul dan bermain Jumpritan, Jamuran, dan Gobak Sodor. Kini mereka bercengkrama dengan layar 5” inci hingga 9” inci ditangan. Entah apa yang mereka mainkan dan mereka lihat.

Penanaman moral dan edukasi yang bagaimana orang tua tawarkan untuk anaknya ?. Pernahkan sebuah dongeng penghantar tidur atau tembang Nina Bobok masih melantun di sela-sela bibir untuk menidurkan anaknya ? Atau lagu Cicak-Cicak di dinding masih menemani sibuah hati ? Tentu tidak karena cicaknya sudah pada kabur takut dengan Buaya yang semakin ganas. Bahkan lebih ganas dari Begal yang semakin membuming mengalahkan berita Raffi Ahmad. Atau karena kisruh di mana-mana yang terjadi dan terpampang di segala bentuk media yang membuat orang tua lebih memilih memberikan HP dengan teknologi canggih agar anaknya juga ikut mengakses? Sungguh ironis, bak penyakit kronis akut tanpa obat.

Kesenjangan berbagai faktor dan lambatnya pengenalan akan budaya negeri sendiri membuat permainan tradisi yang terkenal ciamik dan melatih kerja tim secara tidak langsung kini hanya sebuah kenangan dan dongeng seiring waktu. Permainan yang tak mengenal bahan kimia di dalamnya serta menghemat uang. Tak seperti permainan para tikus yang masih saja bercongkol di gedung rakyat dengan memegahkan diri lewat uang rakyat pula.

Sebuah permainan yang mengajarkan akan social dengan lingkungannya. Sebuah permainan yang mengajarkan kebersamaan tak mengenal jenis kelamin, kasta, dan agama. Sebuah permainan yang di balut sejuta senyum dan tawa. Kebersamaan ini lah yang mahal harganya. Melalui frame yang diam ini aku mengenang. Melalui rangkaian kata menjadi kata-kata aku berbisik akan kerinduan masa kecil.

Mari kita bersama memutar ingatan kita, akan indahnya masa kecil itu. Dan mari kita kembalikan masa itu walau sejenak, biarkan mereka mengerti dan mengenal indahnya permainan ini. Permainan sederhana tanpa rasa kecurigaan.

Potret sederhana, dari kumpulan bocah-bocah ingusan Gogodeso, Kanigoro yang masih senang dan selalu tertawa melesetarikan permainan tradisi. Jangan sampai pudar meski di makan zaman. Tawa (mu) untuk negeri yang RAPUH.




dari kamar kotak,,
Bali Latar #2 JAGONGAN
12 Maret 2015


Jumat, 27 Februari 2015

Hukum MengHukum

Pembakaran pelaku begal di Tangerang menjadi tren pemberitaan berbagai media. Saling menyalahkan dan lempar pertanggungjawaban tergambar jelas dalam kacamata publik. Disisi lain, masyarakat yang tidak sependapat dengan cara warga membakar pelaku begal akan merasa iba dan berbicara “jangan main hakim sendiri”. Namun tidak bagi mereka sekumpulan masyarakat yang sudah bringas tanpa kendali melihat maraknya begal yang meresahkan pengguna jalan dan warga yang melintas dimalam hari.

Tetapi mengapa masyarakat yang memiliki dan dianugrahi pikiran, akal, dan rasa toleransi dan belas kasian sampai tega membakar sesamanya ? Mengapa tidak diserahkan kepihak yang berwajib ? Atau mengapa tidak penegak hukum saja yang mengurus kasus begal hingga tuntas ? Dan mengapa-mengapa lainnya masih bersarang di kepala saya. Bukankah sebuah Negara mempunyai aturan dan hukum yang harus ditaati dan ditegakkan ? Bukankah semua jenis tindak pidana ada hukuman yang telah disepakati ?.

Dulu saya berpikir bahwa segala bentuk dan macam jenis kejahatan apa pun itu akan memperoleh sanksi yang sesuai dengan prilakunya dan saya berpikir bahwa hukum di Indonesia jelas-jelas hukum yang kuat, kokoh tak tertandingi seperti iklan semen. Itu dulu looooo, hanya pola pikir saya yang sempit ternyata.

Apanya hukum yang tegak dan kokoh, wong hukumnya lembek bisa ditekuk sana sini kasih duit dan jabatan kelar semua perkara. Kok bisa ? saya berpikir kembali tentang dua kasus kecelakaan yang menyeret anak mantan menteri ekonomi dan anak musisi Dewa 19 yang menewaskan korbannya. Alih-alih dipenjara, diberi sanksi aja tidak. Dengan dalih jalan damai antar kedua belah pihak, atau pelaku yang dibawah umur dan masih status belajar menjadi celah untuk kebal hukum. Memang kekeluargaan bisa dijalin dan harus tanggung jawab mas Dhany yang kuerennn beken dan pak mantan menteri. Tapi coba deh liat sebentar. Apa saat kejadian anak sampean bawa surat berkendara dengan lengkap dan mematuhi rambu lalu lintas yang ada?. Terus kemana penegak hukum dan hakim yang adil dan bijaksana ? Dan masih banyak lagi kasus yang belum tuntas dan sekarang ditambah lagi dengan intrik-intrik yang ndak jelas di ranah hukum Indonesia. Masyarakat itu ndak bodoh dan ndak buta serta tuli kan? Salah satu teman saya berkata bahwa hukum itu bisa dibeli. Sapa sih yang gak mau sama duit ? Saya aja juga mau.

Inilah alasan sederhana yang membuat masyarakat mulai pudar dan tak percaya lagi dengan pihak yang berwajib. Main hakim sendiri dan melakukan hukuman pada pelaku tindak kriminal menjadi solusi terbaik. Bagaimana tidak? Bila pelaku di serahkan ke pihak berwajib belum tentu ia keluar dari penjara tobat kan? Apa ada yang bisa menjamin kalau pelaku tobat. Menjadi beringas dan mungkin saja lebih ganas, itulah faktanya. Karena penjara itu tempat belajar yang lengkap dan universal. Orang kasus korupsi yang bertahun tahun sudah jelas pelakunya saja masih belum di tangkap dan dijatuhi hukuman. Mencari data inilah, itulah. Heem namanya juga duit berbicara. Coba lah tiru hukum Negara tetangga, pelaku korupsi cuma dipenjara DUA MINGGU saja tetapi habis itu di eksekusi mati didepan publik. Simple kan, buat apa lama-lama proses hukum kalau ujungnya cuam penjara 5-7 tahun sedangkan milyaran bahkan triliun uang rakyat tilep sana sini, ujung-ujungnya masuk kantong kayak prilaku tilangan.

So, jangan salahkan masyarakat kalau bertindak secara pola pikir mereka. Mereka gak bodah dan mereka ingin menunjukan bahwa masyarakat sudah bosan menunggu yang namanya hukum. Ini jadinya kalau masyarakat sudah ngambek dan bergerak. Masih untung begal motor yang dibakar. Coba bayangin kalau seluruh koruptor dibakar hidup-hidup, terus kasus kecelakaan yang menewaskan korbanya juga dibakar hidup-hidup. Saya yakin penjual bensin eceran akan bahagia mendengar kabar ini.

Apakah saya membela perilaku masyarakat yang main hakim sendiri? Ya jelas ia dan setuju. Tetapi dilihat dari bentuk dan jenis kejahatannya.

Seperti contoh ini . Apa yang dilakukan teman-teman Bali Latar dan Akademi Komunitas Putra Sang Fajar membersihkan vandal dan corat coret di tembok stadion kota Blitar adalah salah satu contoh kepedulian akan pelaku vandalis. Mereka memberi contoh bahwa perilaku vandal itu tak baik. Namun jangan salah, kalau ada pelaku vandal yang ketangkap tangan oleh komunitas penggiat di Blitar Raya dan dilakukan sanksi sesuai pola pikir mereka, saya rasa itu fair dan sah-sah saja. Karena tidak adanya kejelasan hukum buat pelaku corat coret tembok di wilayah Blitar Raya.

Tegaknya hukum dan memberantas kriminalitas serta membuat suasana kondusif adalah pekerjaan rumah yang sampai saat ini belum terselesaikan dengan benar di Indonesia. Terbuai akan uang, jabatan, dan kesibukan pemerintah serta penegak hukum dalam upaya memperkaya diri sendiri dan mengamankan harta benda serta menambah pundi-pundi pemasukan adalah persoalan terbesar dan terganas.

Memang benar adanya jika Bung Karno pernah berkata bahwa,  lebih mudah dan gampang melawan penjajah dari pada melawan bangsa sendiri yang saat ini telah bobrok moral, etika, dan hilangnya rasa kepercayaan.


“tetaplah tersenyum Bung meski yang kau titipkan pada negri ini mulai pudar”


Selayang pandang Bali Latar #2 Jagongan
February 27, 2015

Kamis, 19 Februari 2015

resik-resik ( SAMPAH )

Bank Sampah atau Komunitas Sampah adalah komunitas yang berdikari di Kali Pucung Sanan Kulon, Blitar. Pergerakannya yang sederhana namun berdampak besar pada lingkungan. Komunitas yang terhitung muda ini terus berbenah diri seiring berjalan dan terus menyadarkan masyarakat akan dampak sampah pada lingkungan.
Aliran sungai yang menyumbat dan bertambahnya sampah setiap hari serta kepercayaan diri serta kebanggaan masyarakat membuang sampah di aliran-aliran sungai membuat sekumpulan Karang Taruna desa Kali Pucung bergerak. Bermodalkan gerobak bersesek bambu, mereka laksana prajurit yang siap perang dengan tank dan senapan di tangannya. Ya, melawan kolotnya masyarakat dan sudut pandang yang bobrok.
Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyadarkan masyarakat yang terlanjur di didik membuang SAMPAH TIDAK PADA TEMPATNYA. Bahkan tak jarang dari masyarakat kolot yang mencaci maki pergerakan sederhana ini. Perkumpulan Karang Taruna yang digawangi Wawan, acap kali di anggap sebagai perkumpulan pemuda ndak bener, minum-minum terus mabuk, balapan dan masih banyak lagi. “ ya masyarakat kan memandang sekilas saja mas, mereka gak ngerti kalau yang dikerjain karang taruna itu lebih berat. La wong ngresik i regetane wong sak RT” ungkap Mamik anggota Komunitas Sampah. Mamik juga menambahkan pergerakan bersih-bersih lingkungan yang ia lakukan juga membutuhkan beban mental dan moral. Bagaimana tidak, sebagian masyarakat setuju namun juga tak sedikit yang menolak pergerakan ini.
Entah apa yang masyarakat pikirkan. Coba anda bayangkan, pergerakan yang jelas-jelas positif ditentang namun pergerakan yang jelas merugikan sebelah pihak dan berujung penggusuran dengan dalih kemakmuran berkedok politik di puja-puja bak berhala. Zaman Edan.
Tak ada pergerakan yang sia-sia, pada akhirnya aliran sungai yang awalnya tersumbat kini mengalir lancar. Enam puluh Kepala Keluarga yang berdomisili di desa Kali Pucung pun menggunakan jasa Karang Taruna untuk membersihkan sampah dirumah-rumah mereka. Bukan perkara ekonomi dan duit belaka mereka mau mengerjakan semua ini. Pikiran sederhana akan bersihnya alam dan memanfaatkan sampah menjadi barang berguna adalah kunci kegigihan Komunitas Sampah. Dari sampah menjadi Kompos, menjadi PRAKARYA, menjadi BARANG SIAP GUNA, dan masih banyak lainnya.

“ Lingkungan bersih mencerminkan pola pikir masyarakatnya ”


Selayang Pandang Bali Latar #2

February 19, 2015