Jumat, 27 Februari 2015

Hukum MengHukum

Pembakaran pelaku begal di Tangerang menjadi tren pemberitaan berbagai media. Saling menyalahkan dan lempar pertanggungjawaban tergambar jelas dalam kacamata publik. Disisi lain, masyarakat yang tidak sependapat dengan cara warga membakar pelaku begal akan merasa iba dan berbicara “jangan main hakim sendiri”. Namun tidak bagi mereka sekumpulan masyarakat yang sudah bringas tanpa kendali melihat maraknya begal yang meresahkan pengguna jalan dan warga yang melintas dimalam hari.

Tetapi mengapa masyarakat yang memiliki dan dianugrahi pikiran, akal, dan rasa toleransi dan belas kasian sampai tega membakar sesamanya ? Mengapa tidak diserahkan kepihak yang berwajib ? Atau mengapa tidak penegak hukum saja yang mengurus kasus begal hingga tuntas ? Dan mengapa-mengapa lainnya masih bersarang di kepala saya. Bukankah sebuah Negara mempunyai aturan dan hukum yang harus ditaati dan ditegakkan ? Bukankah semua jenis tindak pidana ada hukuman yang telah disepakati ?.

Dulu saya berpikir bahwa segala bentuk dan macam jenis kejahatan apa pun itu akan memperoleh sanksi yang sesuai dengan prilakunya dan saya berpikir bahwa hukum di Indonesia jelas-jelas hukum yang kuat, kokoh tak tertandingi seperti iklan semen. Itu dulu looooo, hanya pola pikir saya yang sempit ternyata.

Apanya hukum yang tegak dan kokoh, wong hukumnya lembek bisa ditekuk sana sini kasih duit dan jabatan kelar semua perkara. Kok bisa ? saya berpikir kembali tentang dua kasus kecelakaan yang menyeret anak mantan menteri ekonomi dan anak musisi Dewa 19 yang menewaskan korbannya. Alih-alih dipenjara, diberi sanksi aja tidak. Dengan dalih jalan damai antar kedua belah pihak, atau pelaku yang dibawah umur dan masih status belajar menjadi celah untuk kebal hukum. Memang kekeluargaan bisa dijalin dan harus tanggung jawab mas Dhany yang kuerennn beken dan pak mantan menteri. Tapi coba deh liat sebentar. Apa saat kejadian anak sampean bawa surat berkendara dengan lengkap dan mematuhi rambu lalu lintas yang ada?. Terus kemana penegak hukum dan hakim yang adil dan bijaksana ? Dan masih banyak lagi kasus yang belum tuntas dan sekarang ditambah lagi dengan intrik-intrik yang ndak jelas di ranah hukum Indonesia. Masyarakat itu ndak bodoh dan ndak buta serta tuli kan? Salah satu teman saya berkata bahwa hukum itu bisa dibeli. Sapa sih yang gak mau sama duit ? Saya aja juga mau.

Inilah alasan sederhana yang membuat masyarakat mulai pudar dan tak percaya lagi dengan pihak yang berwajib. Main hakim sendiri dan melakukan hukuman pada pelaku tindak kriminal menjadi solusi terbaik. Bagaimana tidak? Bila pelaku di serahkan ke pihak berwajib belum tentu ia keluar dari penjara tobat kan? Apa ada yang bisa menjamin kalau pelaku tobat. Menjadi beringas dan mungkin saja lebih ganas, itulah faktanya. Karena penjara itu tempat belajar yang lengkap dan universal. Orang kasus korupsi yang bertahun tahun sudah jelas pelakunya saja masih belum di tangkap dan dijatuhi hukuman. Mencari data inilah, itulah. Heem namanya juga duit berbicara. Coba lah tiru hukum Negara tetangga, pelaku korupsi cuma dipenjara DUA MINGGU saja tetapi habis itu di eksekusi mati didepan publik. Simple kan, buat apa lama-lama proses hukum kalau ujungnya cuam penjara 5-7 tahun sedangkan milyaran bahkan triliun uang rakyat tilep sana sini, ujung-ujungnya masuk kantong kayak prilaku tilangan.

So, jangan salahkan masyarakat kalau bertindak secara pola pikir mereka. Mereka gak bodah dan mereka ingin menunjukan bahwa masyarakat sudah bosan menunggu yang namanya hukum. Ini jadinya kalau masyarakat sudah ngambek dan bergerak. Masih untung begal motor yang dibakar. Coba bayangin kalau seluruh koruptor dibakar hidup-hidup, terus kasus kecelakaan yang menewaskan korbanya juga dibakar hidup-hidup. Saya yakin penjual bensin eceran akan bahagia mendengar kabar ini.

Apakah saya membela perilaku masyarakat yang main hakim sendiri? Ya jelas ia dan setuju. Tetapi dilihat dari bentuk dan jenis kejahatannya.

Seperti contoh ini . Apa yang dilakukan teman-teman Bali Latar dan Akademi Komunitas Putra Sang Fajar membersihkan vandal dan corat coret di tembok stadion kota Blitar adalah salah satu contoh kepedulian akan pelaku vandalis. Mereka memberi contoh bahwa perilaku vandal itu tak baik. Namun jangan salah, kalau ada pelaku vandal yang ketangkap tangan oleh komunitas penggiat di Blitar Raya dan dilakukan sanksi sesuai pola pikir mereka, saya rasa itu fair dan sah-sah saja. Karena tidak adanya kejelasan hukum buat pelaku corat coret tembok di wilayah Blitar Raya.

Tegaknya hukum dan memberantas kriminalitas serta membuat suasana kondusif adalah pekerjaan rumah yang sampai saat ini belum terselesaikan dengan benar di Indonesia. Terbuai akan uang, jabatan, dan kesibukan pemerintah serta penegak hukum dalam upaya memperkaya diri sendiri dan mengamankan harta benda serta menambah pundi-pundi pemasukan adalah persoalan terbesar dan terganas.

Memang benar adanya jika Bung Karno pernah berkata bahwa,  lebih mudah dan gampang melawan penjajah dari pada melawan bangsa sendiri yang saat ini telah bobrok moral, etika, dan hilangnya rasa kepercayaan.


“tetaplah tersenyum Bung meski yang kau titipkan pada negri ini mulai pudar”


Selayang pandang Bali Latar #2 Jagongan
February 27, 2015

Kamis, 19 Februari 2015

resik-resik ( SAMPAH )

Bank Sampah atau Komunitas Sampah adalah komunitas yang berdikari di Kali Pucung Sanan Kulon, Blitar. Pergerakannya yang sederhana namun berdampak besar pada lingkungan. Komunitas yang terhitung muda ini terus berbenah diri seiring berjalan dan terus menyadarkan masyarakat akan dampak sampah pada lingkungan.
Aliran sungai yang menyumbat dan bertambahnya sampah setiap hari serta kepercayaan diri serta kebanggaan masyarakat membuang sampah di aliran-aliran sungai membuat sekumpulan Karang Taruna desa Kali Pucung bergerak. Bermodalkan gerobak bersesek bambu, mereka laksana prajurit yang siap perang dengan tank dan senapan di tangannya. Ya, melawan kolotnya masyarakat dan sudut pandang yang bobrok.
Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyadarkan masyarakat yang terlanjur di didik membuang SAMPAH TIDAK PADA TEMPATNYA. Bahkan tak jarang dari masyarakat kolot yang mencaci maki pergerakan sederhana ini. Perkumpulan Karang Taruna yang digawangi Wawan, acap kali di anggap sebagai perkumpulan pemuda ndak bener, minum-minum terus mabuk, balapan dan masih banyak lagi. “ ya masyarakat kan memandang sekilas saja mas, mereka gak ngerti kalau yang dikerjain karang taruna itu lebih berat. La wong ngresik i regetane wong sak RT” ungkap Mamik anggota Komunitas Sampah. Mamik juga menambahkan pergerakan bersih-bersih lingkungan yang ia lakukan juga membutuhkan beban mental dan moral. Bagaimana tidak, sebagian masyarakat setuju namun juga tak sedikit yang menolak pergerakan ini.
Entah apa yang masyarakat pikirkan. Coba anda bayangkan, pergerakan yang jelas-jelas positif ditentang namun pergerakan yang jelas merugikan sebelah pihak dan berujung penggusuran dengan dalih kemakmuran berkedok politik di puja-puja bak berhala. Zaman Edan.
Tak ada pergerakan yang sia-sia, pada akhirnya aliran sungai yang awalnya tersumbat kini mengalir lancar. Enam puluh Kepala Keluarga yang berdomisili di desa Kali Pucung pun menggunakan jasa Karang Taruna untuk membersihkan sampah dirumah-rumah mereka. Bukan perkara ekonomi dan duit belaka mereka mau mengerjakan semua ini. Pikiran sederhana akan bersihnya alam dan memanfaatkan sampah menjadi barang berguna adalah kunci kegigihan Komunitas Sampah. Dari sampah menjadi Kompos, menjadi PRAKARYA, menjadi BARANG SIAP GUNA, dan masih banyak lainnya.

“ Lingkungan bersih mencerminkan pola pikir masyarakatnya ”


Selayang Pandang Bali Latar #2

February 19, 2015

Jumat, 13 Februari 2015

Kiranya Tak Sekedar Drama

KIRANYA TAK SEKEDAR DRAMA

14 februari seperti hari wajib bagi sebagian masyarakat Blitar Raya namun tak selamanya merasa akan kewajiban hari itu. Dengan semangat dan celana dicincingkan para pemuda Blitar Raya bermain drama. DRAMA KOLOSAL PEMBERONTAKAN PETA orang sering menyebut. Judul yang menggugah rasa nasionalis yang tentunya tak seperti judul 7 Manusia Harimau atau Tukang Bubur Naik Haji yang tak kunjung di Mekah hahahahahahahah.
Acara pesta kesemangatan rasa nasionalis dan rasa memberontak karena benar dan mencintai tanah bumi pertiwi selalu bergelora tinggi rendah seperti pompa tukang becak yang lunglai seharian tanpa penumpang dan beras dirumah kosong mlompong. Teriakan merdeka dan jeritan tangis serasa membuat kilas balik akan masa-masa dimana Sudanco Supriyadi dan rekan-rekannya berjuang mengibarkan sang Merah Putih di Blitar Raya yang dulu tak dipisahkan Kota dan Kabupaten semacam monopoli politik. Seakan seperti secangkir kopi, tapi gula nya merasa paling hebat dari kopinya. Weh dasar otak penjual kopi kok ditiru di zaman yang serba susah.
JASMERAH, mungkin ini ungkapan sederhana yang keluar ketika ditanya. Itu alasan basi kawan. Ucapannya tak jauh beda dengan wacana dan janji politik DPR yang korup. Entah sadar atau tidak, setiap tahun DRAMA KOLOSAL PEMBERONTAKAN PETA ini dilakukan. Terkadang pola pikir ini bertanya-tanya “sekedar acara tahunan atau memang menghargai dan mewarisi semangat pejuang ?”.
Pernyataan ini menjurus akan tingkah laku masyarakatnya. Jangankan menghargai pejuang, buang sampah pada tempatnya saja sulit dilakukan (tepok jidat J ). Yang bikin greget lagi saat drama KOLOSAL lagi berlangsung eh bukannya seksama melihat dan memperhatikan paling tidak ya diam lah kalau tak suka. Asik lirik sana lirik sini. Liat mana yang bisa di goda dan itung-itung cuci mata lah, kamu anggap malam drama KOLOSAL PETA semacam dapur yang bisa mencuci mata picik itu? Semenit acara selesai tak jarang dari mereka bersorak ria, lompat sana-sini, dan lupa makna akan PEMBERONTAKAN PETA. Bukan sejenak merenung dan ucap syukur tapi sikat gebetan, peluk, cium kiri kanan atas bawah. Woyyy kamu kira ini taman bercinta masal.
Terkadang miris melihat ini semua setiap tahun, dimana sebagian dengan semangat membara mencoba dan selalu menyalakan lilin kecil guna menyingkap gelap namun sebagian pesta pora sendiri. Tetapi setidaknya ada satu hal yang dapat kita rasakan dan patut dipertahankan meski ini menghitung hari kapan semangat para relawan tanpa embel-embel duit ini mau berkarya. Bukan karena kita tak sanggup membayar para penggiat seni dan para pelaku serta masyarakat yang sadar akan jasa pahlawannya. NAMUN MEREKA TAK TERNILAI SAMPAI KAPAN PUN, MASIH ADA SATU DARI SEPULUH PEMUDA YANG SELALU MENYALAKAN LILIN SAAT GELAP DAN TAK PERNAH MENGHUJAT KEGELAPAN.

Selayang pandang untuk Blitar Raya

13 Februari 2015