Minggu, 29 Maret 2015

Menghayati dan Memaknai INDONESIA PUSAKA

Indonesia Pusaka
Ciptaan Ismail Marzuki
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa
Reff :
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

            Ismail Marzuki merupakan salah satu maestro musik kepahlawanan. Komponis kelahiran kampung Kwitang, Jakarta Pusat, pada tahun 1914 ini menciptakan sekitar 250 lagu. Karya-karyanya sampai hari ini masih sering terdengar, antara lain Juwita Malam, Sepasang Mata Bola, Selendang Sutera, Sabda Alam, dan Indonesia Pusaka.

            Indonesia Pusaka begitulah judul dari lagu diatas. Merupakan sebuah lagu nasional yang dihafal hampir seluruh rakyat Indonesia. Baik dibangku sekolah dasar hingga perguruan tingga bahkan masyarakat umum tanpa terikat status pendidikan. Tetapi tidak semuanya menghayati makna lagu tersebut. Lagu gubahan Ismail Marzuki sudah diajarkan kepada rakyat Indonesia sejak mereka masih duduk dibangku sekolah dasar, merupakan salah satu lagu yang wajib oleh setiap siswa. Namun, tidak pernah ada yang benar-benar mengajarkan nilai-nilai apa yang dikandung oleh lagu tersebut. Kalimat-kalimat indah diatas bukan hanya sekedar kalimat yang didendang-dendangkan bukan hanya sekedar kata yang dikumandangkan. Tetapi kalimat diatas adalah sebuah refleksi jiwa seorang rakyat tentang kecintaanya terhadap tanah air, yang seharusnya juga dimiliki oleh seluruh warga Indonesia.

            Makna dari lagu Indonesia Pusaka adalah pada bait pertama beliau memberi tahu bahwa indonesia merupakan senjata yang selalu hidup didunia, maksudnya Indonesia merupakan negara yang kuat dan akan terus jaya untuk selamanya. Kekuatan ini bukan hanya masalah militer tetapi juga dari banyak segi lainnya. Kebudayaan yang beranekaragam, suku adat, bahasa, dan masih banyak lagi. Makna pusaka abadinan jaya disini luas bukan mengacu pada satu hal namun melingkupi segala aspek yang ad di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

            Pada bait selanjutnya bermakna bahwa dari dulu sampai saat ini Indonesia merupakan negara yang selalu di puja dan diagungkan oleh masyarakatnya dan negara lain. Ini terbukti dari zaman kerajaan hingga penjajahan dan sekarang merdeka. Banyak bangsa lain yang kagum dengan kesuburan negara kita. Gemah ripah loh jinawi, itulah ungkapan yang tepat untuk Indonesia dan itulah yang membuat banyak negara lain ingin menguasai dan menduduki tanah pertiwi. Keelokan pantai, gugus gugus pulau, serta kekayaan alamnya yang berlimpah ruah adalah alasan semua itu. Namun sayang ketika bangsa lain yang lebih sedikit dan bahkan nyaris tak memiliki budaya, seni, sumber daya alam ingin memiliki seperti Indonesia bahkan tak jarang mereka membeli dan mendatangkan tim ahli, orang – orang yang kreatif dari negara kita tetapi semua berbanding terbalik. Masyarakat kita belum sadar dengan semua itu, dan lebih memuja budaya asing ketimbang produk negara sendiri.

            Bait selanjutnya menceritakan bahwa diIndonesia lah kita lahir dan berkembang, dan merasakan kasih sayang orang tua. Maksud bait ini bukan sekedar kita lahir dari rahim orang tua kita dan dibesarkan saja. Karena itu adalah kewajiban orang tua dimana saja. Namun makna yang dimaksudkan oleh Ismail Marzuki merujuk pada sawah yang memberi kita makanan, sumber – sumber air yang membuat kita tidak takut kehausan, laut yang melimpahkan segala ikan dan sejenisnya sebagai lauk. Semua itu diberikan oleh tanah Indonesia, tempat kita berpijak. Seakan tanah ini adalah ibu kita karena darinya kita tak merasakan kekurangan apapun. Tugas kita hanya merawat, memelihara, dan menjaganya agar tetap ada dan bisa dinikmati anak cucu kita tanpa harus melakukan import dari negara tetangga.

            Sedangkan pada bait terakhir, tempat berlindung dihari tua, tempat akhir menutup mata. Jika kita mendengar bait ini sambil lalu tanpa berfikir kritis maka kita hanya memahami bahwa kita lahir di Indonesia ya mati di Indonesia juga kelak. Bukan itu maksudnya kawan, tetapi Indonesia itu memiliki daya tarik sendiri dan memikat hati siapapun. Banyak contoh yang kita lihat dan dengar, berapa orang Indonesia yang sukses diluar negeri tetapi mereka akhirnya kembali ketanah Indonesia. Bukan karena disana mereka diusir atau apapun itu namun mereka rindu dan kangen akan suasana dan ketentraman yang selalu ditawarkan Indonesia. Tak pelak, warga asing pun banyak yang rela menjadi WNI dan menetap di Indonesia tercinta. Disini mereka merasa dilindungi, dihargai, ada rasa kepercayaan, kekeluargaan, semangat gotong royong yang tentunya diluar sana belum tentu ada. Buat apa memiliki harta berlimpah ruah namun tak ada tetangga yang memperdulikan kita, dan mendengar aspirasi kita.

Itulah makna yang seharusnya kita mengerti dan sadari. Dalam hal ini, bukanlah sekedar mengenai arti kata disetiap lagu tetapi lebih kepada ajaran yang tersirat dalam lirik baitnya. Ismail Marzuki membuat lagu ini bukan sekedar berdendang dengan kalimat, namun ia meresapi dan mengambil dari masyarakat kita sendiri. Mencurahkan rasa yang ia alami. Bagaimana dia mencintai tanah airnya dan menghargai, serta membela Indonesia ini.

Akhir-akhir ini kita banyak mengalami peristiwa  “kecolongan” dari negeri tetangga entah itu wilayah, budaya, masakan dan lain sebagainya yang sekarang sudah lepas kenegara lain. Hal ini membuktikan bahwa pada saat ini masyarakat Indonesia belum paham atau belum sepenuhnya sadar tentang kewajiban membela tanah air. Bela tanah air bukan hanya terlibat dalam perang atau ikut berperang demi menjaga keamanan negara ini. Itu merupakan salah satu contohnya. Tetapi bela tanah air itu adalah membela, menjaga setiap jengkal tanah Indonesia serta segala sesuatu yang dimilikinya, manusianya, budayanya, langitnya segala yang ada ditanah, dilautan dan dilangit Indonesia. Segalanya adalah milik Indonesia dan tidak ada satu orangpun yang berhak mengklaim bahwa itu milik mereka. Seharusnya jiwa seperti inilah yang harus ditanamkan kedalam diri masyarakat Indonesia. Jiwa merasa memiliki dan menjaga bersama-sama agar tidak diambil negara lain.

Seperti lagu diatas, Indonesia adalah tempat dimana kita dilahirkan dan dibesarkan serta tumbuh hingga menjadi tua. Negara ini adalah hasil dari perjuangan dan kerja keras para pendiri-pendiri bangsa. Bukan dari pemberian atau pun suka rela. Pejuang bertaruhkan nyawa, harta, keluarga, dan apapun untuk satu kata Merdeka. Sudah seharusnyalah kita sebagai penerus memperjuangkan bangsa ini dan membelanya. Memang saat ini kita bukan dimasa perang dan penjajahan seperti dulu. Akan tetapi kita masih diajajah oleh keserakahan, kemiskinan, kebodohan, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan sebagainya.

Tanah yang seharusnya melindungi kita, bumi pertiwi yang seharusnya membuai masyarakat Indonesia seakan murka dengan prilaku kita. Masyarakat dengan enaknya mengambil hasil bumi namun tak pernah mereka pikitkan bagaimana cara merawatnya agar tetap terjadi keberlangsungan.

Inilah perlunya rasa cinta tanah air seperti gambaran dari bait demi bait Ismail Marzuki. Perilaku cinta tanah air dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, diantaranya memelihara  persatuan dan kesatuan dan menyumbangkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki untuk membangun negara Indonesia dari segala segi kehidupan dan bermasyarakat.

Semangat cinta tanah air perlu terus dibina sehingga keutuhan negara Indonesia tetap terjamin. Semua itu bertujuan dan akan memberi manfaat rasa aman, damai, pembanguan infrastuktur yang baik, pendidikan yang standar, kesejahteraan masyarakat meningkat, terjadinya pola pikir kreatif, dan saatnya semua lapisan masyarakat merasakan itu. Dari tukang becak hingga pejabat, dari penjual teri hingga para menteri, dari petani hingga MPR RI, semua tanpa terkecuali berhak merasakan keindahan dan kenyaman serta kenikmatan yang diberikanoleh tanah pertiwi Indonesia.

Cita – cita untuk mencapai masyarakat adil makmur berdasarkan pancasila perlu terus diperjuangkan. Cinta tanah air bukan utuk dihafal, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan sehari – hari melalui segala kegiatan sesuai dengan bidang dan keahlian masing – masing.


Indonesia adalah tanah pusaka yang diwariskan oleh para leluhur kita. Dan disinilah pada akhirnya kita nanti akan menjadi tua. Kita harus selalu menjaganya agar kelak Indonesia masih bisa dikenang sebagai bangsa yang besar, bangsa yang memiliki ragam budaya, bangsa yang subur dan makmur masyarakatnya. Untuk itulah kita perlu membela negeri ini karena ini adalah Indonesia kita. Indonesia Pusaka.

Senin, 16 Maret 2015

AGRARIS = KORUPSI BENGIS

. . .sebuah gelisah hati, pikiran, dan rasa sederhana dari balik cendela bambu yang kusang. . .

Banyak orang bilang bahwa negara kita Agraris
Namun rakyat menjerit dan semakin dibuat Mringis
Banyak orang bilang lahan kita dipenuhi Padi
Namun nyatanya semua harga semakin Tinggi dan penuh obral Janji
Banyak orang bilang lumbung kita sesak akan Beras
Namun nyatanya petani semakin di Peras
Banyak orang bilang hukum negara kita Adil
Gombal belaka, kelakar sederhana
Maling teri dipukuli dan dijatuhi hukuman mati
Namun korupsi diberi remesi dan di puji-puji seperti kotoran BAB!
Orang susah bukan semakin susah namun MATI dengan nafas yang terengah-engah
Kau bilang semua demi perubahan ?
Kau bilang semua demi keadilan ?
Kucing yang baru melahirkan anaknya pun tahu betul ini tidak seperti isi otakmu.
Jangan bertanya kenapa RASKIN yang dibagi ke masyarakat ditukar beras layak makan,
Jangan bertanya kenapa orang miskin enggan berobat dengan embel-embel gratis,
Ku yakin kau pasti tahu jawabnya,. Jika tidak carilah tahu jawabnya

Bukan, bukan aku tak suka
Tapi kontrol sosialmu yang tak ada
Kau berpikir bagus tapi bawahanmu yang membrangus
Kau kucurkan dana dari uang rakyat
Tapi orang-orang di gedung itu masih saja mencacat
Kau suruh kami bayar pajak untuk kemakmuran dan kesejahteraan
Namun mereka rapat sambil kleleran macam TIKUS kurang kerjaan
Sampai kapan semua ini terjadi ?
Entahlah.
Aku hanya diam dan terus menatap dari balik cendela tak beruji ini



dari kamar kotak

Bali Latar #2 JAGONGAN

Kamis, 12 Maret 2015

di Sudut tawa

Apa yang kalian pikirkan dengan foto disamping ?
Ingin mengulang masa di mana hanya ada canda tawa bahagia dan tangis karena gak punya teman atau menangis karena ada teman yang jahil. Itulah yang aku rasakan saat melihat mereka bermain. Bukan masalah bermainnya namun jenis permainan yang mereka pilih dan mainkan. Aku bertanya-tanya “ kok masih ada ya permainan seperti ini ?”. Pertanyaan ini tentu beralasan karena di era yang serba modern dengan menjamurnya alat teknologi tak banyak membuat anak-anak mengerti apa itu bersosial dengan lingkungan. Bukan salahnya HP atau Gadge yang muncul namun mengapa mereka tak pernah di didik atau dikenalkan “itu lo teman” , “ itu lo yang namanya mainan tradisi”. Nyatanya tidak kan, anak nangis diberi Gadge untuk bermain. Jika dulu saat petang menjelang serombongan anak-anak berkumpul dan bermain Jumpritan, Jamuran, dan Gobak Sodor. Kini mereka bercengkrama dengan layar 5” inci hingga 9” inci ditangan. Entah apa yang mereka mainkan dan mereka lihat.

Penanaman moral dan edukasi yang bagaimana orang tua tawarkan untuk anaknya ?. Pernahkan sebuah dongeng penghantar tidur atau tembang Nina Bobok masih melantun di sela-sela bibir untuk menidurkan anaknya ? Atau lagu Cicak-Cicak di dinding masih menemani sibuah hati ? Tentu tidak karena cicaknya sudah pada kabur takut dengan Buaya yang semakin ganas. Bahkan lebih ganas dari Begal yang semakin membuming mengalahkan berita Raffi Ahmad. Atau karena kisruh di mana-mana yang terjadi dan terpampang di segala bentuk media yang membuat orang tua lebih memilih memberikan HP dengan teknologi canggih agar anaknya juga ikut mengakses? Sungguh ironis, bak penyakit kronis akut tanpa obat.

Kesenjangan berbagai faktor dan lambatnya pengenalan akan budaya negeri sendiri membuat permainan tradisi yang terkenal ciamik dan melatih kerja tim secara tidak langsung kini hanya sebuah kenangan dan dongeng seiring waktu. Permainan yang tak mengenal bahan kimia di dalamnya serta menghemat uang. Tak seperti permainan para tikus yang masih saja bercongkol di gedung rakyat dengan memegahkan diri lewat uang rakyat pula.

Sebuah permainan yang mengajarkan akan social dengan lingkungannya. Sebuah permainan yang mengajarkan kebersamaan tak mengenal jenis kelamin, kasta, dan agama. Sebuah permainan yang di balut sejuta senyum dan tawa. Kebersamaan ini lah yang mahal harganya. Melalui frame yang diam ini aku mengenang. Melalui rangkaian kata menjadi kata-kata aku berbisik akan kerinduan masa kecil.

Mari kita bersama memutar ingatan kita, akan indahnya masa kecil itu. Dan mari kita kembalikan masa itu walau sejenak, biarkan mereka mengerti dan mengenal indahnya permainan ini. Permainan sederhana tanpa rasa kecurigaan.

Potret sederhana, dari kumpulan bocah-bocah ingusan Gogodeso, Kanigoro yang masih senang dan selalu tertawa melesetarikan permainan tradisi. Jangan sampai pudar meski di makan zaman. Tawa (mu) untuk negeri yang RAPUH.




dari kamar kotak,,
Bali Latar #2 JAGONGAN
12 Maret 2015