Apa
yang kalian pikirkan dengan foto disamping ?
Ingin mengulang masa di mana hanya ada canda tawa
bahagia dan tangis karena gak punya teman atau menangis karena ada teman yang
jahil. Itulah yang aku rasakan saat melihat mereka bermain. Bukan masalah bermainnya
namun jenis permainan yang mereka pilih dan mainkan. Aku bertanya-tanya “ kok
masih ada ya permainan seperti ini ?”. Pertanyaan ini tentu beralasan karena di
era yang serba modern dengan menjamurnya alat teknologi tak banyak membuat
anak-anak mengerti apa itu bersosial dengan lingkungan. Bukan salahnya HP atau
Gadge yang muncul namun mengapa mereka tak pernah di didik atau dikenalkan “itu
lo teman” , “ itu lo yang namanya mainan tradisi”. Nyatanya tidak kan, anak
nangis diberi Gadge untuk bermain. Jika dulu saat petang menjelang serombongan
anak-anak berkumpul dan bermain Jumpritan, Jamuran, dan Gobak Sodor. Kini
mereka bercengkrama dengan layar 5” inci hingga 9” inci ditangan. Entah apa
yang mereka mainkan dan mereka lihat.
Penanaman moral dan edukasi yang
bagaimana orang tua tawarkan untuk anaknya ?. Pernahkan sebuah dongeng
penghantar tidur atau tembang Nina Bobok masih melantun di sela-sela bibir
untuk menidurkan anaknya ? Atau lagu Cicak-Cicak di dinding masih menemani
sibuah hati ? Tentu tidak karena cicaknya sudah pada kabur takut dengan Buaya
yang semakin ganas. Bahkan lebih ganas dari Begal yang semakin membuming
mengalahkan berita Raffi Ahmad. Atau karena kisruh di mana-mana yang terjadi
dan terpampang di segala bentuk media yang membuat orang tua lebih memilih
memberikan HP dengan teknologi canggih agar anaknya juga ikut mengakses?
Sungguh ironis, bak penyakit kronis akut tanpa obat.
Kesenjangan berbagai faktor dan
lambatnya pengenalan akan budaya negeri sendiri membuat permainan tradisi yang
terkenal ciamik dan melatih kerja tim secara tidak langsung kini hanya sebuah
kenangan dan dongeng seiring waktu. Permainan yang tak mengenal bahan kimia di
dalamnya serta menghemat uang. Tak seperti permainan para tikus yang masih saja
bercongkol di gedung rakyat dengan memegahkan diri lewat uang rakyat pula.
Sebuah permainan yang mengajarkan
akan social dengan lingkungannya. Sebuah permainan yang mengajarkan kebersamaan
tak mengenal jenis kelamin, kasta, dan agama. Sebuah permainan yang di balut
sejuta senyum dan tawa. Kebersamaan ini lah yang mahal harganya. Melalui frame
yang diam ini aku mengenang. Melalui rangkaian kata menjadi kata-kata aku
berbisik akan kerinduan masa kecil.
Mari kita bersama memutar ingatan
kita, akan indahnya masa kecil itu. Dan mari kita kembalikan masa itu walau
sejenak, biarkan mereka mengerti dan mengenal indahnya permainan ini. Permainan
sederhana tanpa rasa kecurigaan.
Potret sederhana, dari kumpulan
bocah-bocah ingusan Gogodeso, Kanigoro yang masih senang dan selalu tertawa
melesetarikan permainan tradisi. Jangan sampai pudar meski di makan zaman. Tawa
(mu) untuk negeri yang RAPUH.
dari kamar kotak,,
Bali Latar #2
JAGONGAN
12 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar