Kamis, 12 Maret 2015

di Sudut tawa

Apa yang kalian pikirkan dengan foto disamping ?
Ingin mengulang masa di mana hanya ada canda tawa bahagia dan tangis karena gak punya teman atau menangis karena ada teman yang jahil. Itulah yang aku rasakan saat melihat mereka bermain. Bukan masalah bermainnya namun jenis permainan yang mereka pilih dan mainkan. Aku bertanya-tanya “ kok masih ada ya permainan seperti ini ?”. Pertanyaan ini tentu beralasan karena di era yang serba modern dengan menjamurnya alat teknologi tak banyak membuat anak-anak mengerti apa itu bersosial dengan lingkungan. Bukan salahnya HP atau Gadge yang muncul namun mengapa mereka tak pernah di didik atau dikenalkan “itu lo teman” , “ itu lo yang namanya mainan tradisi”. Nyatanya tidak kan, anak nangis diberi Gadge untuk bermain. Jika dulu saat petang menjelang serombongan anak-anak berkumpul dan bermain Jumpritan, Jamuran, dan Gobak Sodor. Kini mereka bercengkrama dengan layar 5” inci hingga 9” inci ditangan. Entah apa yang mereka mainkan dan mereka lihat.

Penanaman moral dan edukasi yang bagaimana orang tua tawarkan untuk anaknya ?. Pernahkan sebuah dongeng penghantar tidur atau tembang Nina Bobok masih melantun di sela-sela bibir untuk menidurkan anaknya ? Atau lagu Cicak-Cicak di dinding masih menemani sibuah hati ? Tentu tidak karena cicaknya sudah pada kabur takut dengan Buaya yang semakin ganas. Bahkan lebih ganas dari Begal yang semakin membuming mengalahkan berita Raffi Ahmad. Atau karena kisruh di mana-mana yang terjadi dan terpampang di segala bentuk media yang membuat orang tua lebih memilih memberikan HP dengan teknologi canggih agar anaknya juga ikut mengakses? Sungguh ironis, bak penyakit kronis akut tanpa obat.

Kesenjangan berbagai faktor dan lambatnya pengenalan akan budaya negeri sendiri membuat permainan tradisi yang terkenal ciamik dan melatih kerja tim secara tidak langsung kini hanya sebuah kenangan dan dongeng seiring waktu. Permainan yang tak mengenal bahan kimia di dalamnya serta menghemat uang. Tak seperti permainan para tikus yang masih saja bercongkol di gedung rakyat dengan memegahkan diri lewat uang rakyat pula.

Sebuah permainan yang mengajarkan akan social dengan lingkungannya. Sebuah permainan yang mengajarkan kebersamaan tak mengenal jenis kelamin, kasta, dan agama. Sebuah permainan yang di balut sejuta senyum dan tawa. Kebersamaan ini lah yang mahal harganya. Melalui frame yang diam ini aku mengenang. Melalui rangkaian kata menjadi kata-kata aku berbisik akan kerinduan masa kecil.

Mari kita bersama memutar ingatan kita, akan indahnya masa kecil itu. Dan mari kita kembalikan masa itu walau sejenak, biarkan mereka mengerti dan mengenal indahnya permainan ini. Permainan sederhana tanpa rasa kecurigaan.

Potret sederhana, dari kumpulan bocah-bocah ingusan Gogodeso, Kanigoro yang masih senang dan selalu tertawa melesetarikan permainan tradisi. Jangan sampai pudar meski di makan zaman. Tawa (mu) untuk negeri yang RAPUH.




dari kamar kotak,,
Bali Latar #2 JAGONGAN
12 Maret 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar